Sabtu, 21 April 2012

Click your Mind, intro about Ron Paul (English subtitles)

Kamis, 19 April 2012

Analisa Komunikasi Pencitraan Film dan Sinetron di Indonesia : Review Sinetron Hareem

Hareem; Perwajahan Opera Soap Indonesia
Hareem, riwayat mu dulu dan sekarang,
Perwajahan Umum Opera Sabun Tanah Air

Hareem tidak terlalu rumit. Seperti sinetron kebanyakan, temanya umum dan mudah dicerna oleh masyarakat. Siaran sedari pukul 7.00 malam, Hareem bercerita mengenai sisi negatif berpoligami. Konflik keluarga, berkisar pada perebutan harta dan cinta dikemas apik. Diproduseri raja sinetron Indonesia, Raam Punjabi, ia tampil hampir saban hari, Senin sampai Sabtu di layar tv saluran Indosiar.

Semuanya aman-aman saja sebelum 24 maret lalu. Masalah timbul ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberikan teguran pada Indosiar untuk memperbaiki materi siaran serta memindah jam tayang karena dinilai penuh adegan kekerasan verbal dan fisik. Indosiar pun berinisiatif menghentikan sinetron Hareem mulai Selasa, 31Maret. Setelah yang bersangkutan menyambangi KPI Pusat tiga hari sebelumnya untuk mengklarifikasi teguran.

Selain Hareem, KPI Pusat juga menetapkan enam sinetron yang tayang pada Januari 2009 sebagai sinetron bermasalah. Yaitu, sinetron Suami-suami Takut Istri (Trans TV), sinetron Muslimah (Indosiar), dan Abdel dan Temon (Global TV). Peringatan ketiganya dikategorikan "Lampu Merah", Sedangkan Alisa (RCTI), Tawa Sutra Siang (ANTV) dan Monalisa (Indosiar) dianjurkan memperbaiki materi siaran.

Suami-suami Takut Istri (Trans TV) bahkan mendapat teguran kedua karena dinilai tidak memperhatikan norma-norma kesopanan dan kesusilaan dalam konteks hubungan suami-istri, menampilkan adegan kekerasan dalam tumah tangga serta mengucapkan kata-kata kasar secara dominan. Selain Trans TV, Global TV juga mendapat teguran pertama untuk program Abdel dan Temon. Kali ini program tersebut diminta KPI agar pindah jam tayang ke pukul 22.00 untuk penonton Dewasa (D). Ditambah lagi karena Abdel dan Temon mengandung adegan dan pembicaraan vulgar dan menampilkan kekerasan fisik secara berulang-ulang.

Dua program lainnya, Tawa Sutra dan Alisa sebatas pada himbauan untuk perbaikan materi. Sedangkan,Muslimah, pada 8 Januari 2009 KPI Pusat telah mengeluarkan surat teguran kedua karena masih menampilkan adegan kekerasan verbal dan fisik serta berindikasikan melanggar kaidah-kaidah agama, seperti perlakuan yang tidak pantas terhadap orang tua. Untuk sinetron ini, KPI juga banyak mendapatkan pengaduan dari masyarakat .


Sesuatu yang Salah Dengan Sinetron Hareem

Ternyata ada "something wrong" pada Hareem, juga pada ke-enam sinetron diatas, atau jangan-jangan pada seluruh sinetron tanah air saat ini.

Ketika Soemardjono menyebut soap opera itu sebagai sinema elektronik,Pendiri dan mantan Pengajar Institut Kesenian Jakarta itu sedari awal sadar bahwa sinetron memang bercerita seputar kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik, yang bisa dibuat bersambung, berseri- seri, bahkan hingga 356 seri selama hampir 7 tahun. Berkat "Tersanjung" lah, Raam dijuluki raja sinetron Indonesia.

Ini murni bisnis hiburan, beda dengan film yang masih menjunjung idealisme. Sinetron dibuat sesuai dengan selera pasar. Tak heran, dulu-dulu , sinetron bertema alam ghaib menghantui jagad pertelevisian tanah air. Sekarang, temanya bergeser pada agama. Entah mengapa, sinetron keIslam-islaman tambah marak saat ini.

Jawabannya bisa jadi dilatarbelakangi keberhasilan film, Ayat-ayat Cinta. Ada uang di tema ini. Maka dibuatlah materi dengan identitas keIslaman. Sayangnya cuma sebatas identitas. Yang khas-khas sintetron masih ditampilkan. Kembali ke konflik tak berujung dan berseri-seri tadi. Selama masih menyedot mata penonton, masih laku dijual.

Parahnya lagi, ini membuat geram masyarakat lain. Protes pun datang silih berganti dari kelompok-kelompok Islam. Hareem, bercerita mengenai seorang pria berpoligami dalam rumah tangganya, bintang utama Shandy Aulia dan Tommy Kurniawan ternyata berkali-kali mendapat kecaman dan keberatan kalangan organisasi Islam. Puncaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta 145 orang pengaduan menilai 'Hareem' telah melecehkan ajaran Islam.

MUI menyatakan bahwa sinetron tersebut melecehkan citra Islam lewat perilaku buruk pemainnya. Kondisi itu lalu dianggap oleh KPI sangat berbahaya karena dinilai dapat menyinggung perasaan umat Islam di Indonesia.

Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Sendjaja, pernah menyampaikan dalam siaran persnya, bahwa sinetron tersebut telah melanggar aturan di P3 dan SPS KPI. Diantaranya adalah mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu.

"Ceritanya merusak citra Islam lewat kelakuan seorang pemeluk yang mustahil seburuk itu," ungkap anggota DPR RI FPKS, Mutammimul Ula. Itu tahun 2008 lalu.


Hareem ke Haram

Tak heran sampai ada simpulan, televisi itu isinya 99% sampah. Meski ini agak keterlaluan. Sebab masih ada yang baik-baik. Acara masak memasak, berita, dokumenter masih bisa mendidik. Namun terlalu banyak cerita berseri-seri serta ditambah program informasi entertainment, alias infotainment bikin simpulan itu mendekati.

Bagi produser, prinsip pasar adalah utama. Industri sinema televisi berkembang pesat karena ada tempat dalam televisi. Masyarakat butuh hiburan, yang tak bisa dilakukan pemilik televisi secara terus menerus. Bayangkan ketika, film yang itu-itu saja yang diputar?. Untuk mensiasati, dibuatlah sinema yang menghibur dengan berseri-seri tadi.

Setiap penayangan televisi pasti berdampak, sebab sebagai sebuah media massa, televisi menyampaikan ragam pesan. Parahnya, karena ia televisi maka yang terjadi adalah tayangan bersifat pasif dan non interactive process. Tak ada komunikasi timbal balik dan interaktif. Tayangan sebuah program memang bisa dimaknai secara berbeda tergantung dari kemampuan kognisi penerima. Maka tak heran, ada kejadian, anak yang habis nonton smackdown, bisa membunuh. Seseorang setelah menonton film porno, bisa-bisa berniat memperkosa.

Bagi seorang Karl Erik Rosengren, pengaruh media massa ternyata bisa kompleks dan rumit. Pengaruh ini setidaknya bisa skala kecil (individu) dan luas (masyarakat). Dari segi kecepatannya, bisa cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/ abad) dampak itu terjadi.

Bisa dibayangkan, sinetron semacam Harem, ditayangkan terus menerus. Jika dihitung-hitung, antagonis mendominasi di 90 persen cerita, ini diawal-awal cerita dan pertengahan, bahkan ujung, Sedangkan protagonis kebagian 10 persen jalan cerita. Ini hanya diakhir cerita yang bahkan di serial terakhir.

Mata masyarakat segala umur itu akan melahap segala umpatan, cacian, dan makian. Penggambaran yang jahat begitu mendominasi jalan cerita. Meski nanti bisa ditebak, yang baik akan menang. Namun porsi yang kecil tak begitu pengaruh. Ini pun untuk mengelola emosi penonton. Lalu apa yang akan terjadi, ketika anak-anak dan remaja ikut menikmati parade sinema ala India ini. Berdarah-darah disebagian besar cerita, lalu menang di akhir. Kata-kata kasar verbal itu yang akan lebih banyak meresap ke otak-otak mereka.

Dampak sinetron bisa jadi skala luas, kata Erik lagi. Bagi anak-anak, pesan ini akan terbawa pada saat mereka dewasa nanti. Lebih parah lagi, sinetron-sinetron jalan cerita seperti ini yang marak pada jam-jam prime time. Belum lagi sebaran stasiun televisi yang bersangkutan hingga ke pelosok-pelosok. Berjuta-juta pasang mata itu akan disuguhi pandangan penuh caci dan amarah itu sahaja. Pengaruh negatif bisa cepat dan massif.


Kultur atau Politik Media

Menghujat televisi juga tak bijak. Sebab kadang sebuah materi siaran memang menyuguhkan realita di masyarakat. Produser tak bisa disalah-salahkan karena membodohi. Profil masyarakat Indonesia yang masih percaya klenik, dan katanya ada yang suka poligami nyata adanya. Jadi materi yang diangkat memang realita di lapangan. Bahwa masyarakat ternyata suka juga dengan infotainment ada benarnya juga. Rating penonton tinggi pada program-program ini. Hal yang lumrah ketika Insert "di_diversitifikasi" dengan Insert pagi, Insert tengah hari itu, serta ditambahi versi investigasi pula.

Inilah lalu mengapa Martin Fishbein pada 1970 lalu dalam analisanya, mengungkapkan bahwa jenis masyarakat seperti ini, yang memanfaatkan sinetron atas dasar persamaan nilai atau kepercayaan. Like or dislike terhadap sebuah program acara karena didorong kepercayaan dan dari hasil evaluasi. Jika masyarakat percaya bahwa, Hareem mampu memberikan hiburan lalu timbul rasa puas setelahnya. Maka jangan heran, masyarakat bisa berlama-lama diwaktu penayangannya.

Expectancy value theory, si Martin juga jadi penjelasan mengapa untuk masyarakat lain Hareem dan sejenisnya dipandang tak memberikan kepuasaan sebagai tontonan. Mereka dianggap bukan menyajikan pandangan hidup yang realistis. Ada alasan untuk tidak suka, lantas pindah ke program acara lain.

Dilain sisi, bagi industri kreatif, semakin banyak yang menonton sebuah program acara, adalah tujuan utama. Ini lalu merembes pada antrian iklan per-spot yang ditunggu-tunggu bagi pemilik stasiun. Hubungan antara produser dengan pemilik media semacam simboisis mutualisme.

Bagi produser Hareem dan teman-teman, pragmatisme berkarya terlihat dari mencomot trend ke_Islaman. Sukses Ayat-ayat Cinta dengan 2,6 Juta penonton, tampaknya menjadi dasar pertimbangan. Manoj Punjabi pantas berbangga, sebab film yang diambil dari novel Habiburrahman Al Shirazy, sama-sama laku keras. Filmnya lantas ibarat magnet yang memicu beramai-ramai men_sinetronkan tema begituan.

Ketika, Hareem muncul dengan identitas religi dan benang kusut konflik, ia kena hukum, yang oleh Roland Barthes disebut, "the Author has death". Materi bisa dipersepsi secara bebas, subyektifitas masyarakat tumpah ruah dalam ruang-ruang paling privat sekalipun. Tanpa ada campur tangan sang pencipta pesan. Akibatnya, bisa ada yang suka dan tidak suka. Bisa jadi anak-anak ketika dewasa punya nilai, seperti berjilbab atau tidak, sama saja.

Ihwal mengolah tanda dalam sinetron tersebut tampaknya kurang mengena. Baju muslim, seharusnya penanda seseorang yang baik tutur kata alias berakhlak terpuji, ini konteks dalam masyarakat islamis. Begitulah kepercayaan dan nilai-nilai dalam masyarakat muslim. Signifier berupa sosok wanita dengan makian dan iri dengki hendak disandingkan dengan jilbab, ibarat mengaduk minyak ke air. Ada pertentangan tanda dan penanda disana, tak tanggung-tanggung tentangan yang bisa memprovokasi.

Sosok Abi, signified_nya adalah seseorang yang diagungkan dalam kultur masyarakat Islami. Ia menjadi panutan dan sumber kebaikan bagi semua orang. Tutur katanya lembut serta menenangkan jiwa. Namun ditandakan dengan sifat yang angkara murka, bisa-bisa mengundang petaka. Tidak ada kesesuaian antara tanda dan penanda ini yang bikin Hareem dan sejenisnya harus diintervensi alias setengah "dipaksa" untuk tutup.

Sebagai sebuah proses komunikasi, seharusnya tingkat penerimaan yang tinggi menjadi acuan. Ini artinya pesan bisa diterima dengan baik. Agar proses penyampaian pesan efektif, "Penanda (signifier) dan petanda (signified) seharusnya merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas," kata Saussure.

Begitulah ketika kontradiksi ini benar-benar memancing kontra. Akhirnya Hareem kini berubah. Sejak 31 Maret itu, judulnya berubah Inayah, yang hadir di hari dan waktu yang sama di Indosiar. Perubahan terletak pada format. Awalnya berjilbab bagi tokoh wanitanya dan peci berbaju koko buat tokoh prianya, sekarang diganti model kekinian. Tokoh Abi disebut Romo, sedangkan para Ummi sebutannya menjadi Amih.

Judul nya pun tetap menggunakan nama wanita. Pemilihan ini bukan tanpa pertimbangan. Trend judul tokoh lead female ternyata masih menarik. Judul-judul seperti Intan, Larasati, Jihan, Chelsea, Suci, Sekar, Lia, Rafika, Mirna, Alisa, Azizah, Cahaya, Soleha, Muslimah, Monalisa sudah tak asing lagi, Trendnya bertahan hingga sekarang sejak 2007 lalu.

Sekali lagi media seringkali berperilaku sebagai pencipta mitos-mitos baru ke tengah masyarakat. Hareem atau Inayah tetap saja adalah proses mitologisasi. Maksudnya, kehidupan masyarakat hendak digambarkan dengan cara penuh makna, serta dibuat sebuah pemahaman generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia.

Wajah sinetron Indonesia seharusnya menyuguhkan obat bukan sampah apalagi racun untuk masyarakat. Sebab selain berfungsi menghibur, media massa juga ikut mendidik. Bahkan salah satu pilar dalam hidup ala demokratis. Sebebas apapun kreativitas, tetap tidak bebas nilai. Kini, tergantung masyarakat, sebagai "pembaca teks" harus pintar-pintar memilah tayangan nantinya. Kabar baiknya, masyarakat bebas untuk itu. ***

Tag Keyword : Budaya Komunikasi Sinetron Film Science Hareem







Written By : Iksander UBB Press di http://aksansanjaya.blogspot.com/

MAKNA PEREMPUAN SEKSI DALAM TAYANGAN TELEVISI (Analisis Semiotik pada Tayangan Tengah Malam (SEKSi) di TV one)

Undergraduate Theses from JIPTUMMPP / 2007-01-24 10:55:51
Oleh : Whina Rysika Romadona (01220314), Communication Science
Dibuat : 2007-01-24, dengan 3 file

Keyword : Makna perempuan seksi, tayangan televisi, Analisis semiotik.
Url : http://
Maraknya tayangan dalam televisi menempatkan perempuan sebagai sosok yang teraniaya, sementara keteraniayaan itu bukan sebagai titik tolak melawan kesewenangan-wenangan penindasan kaum lelaki. Atau cerita-cerita yang menempatkan perempuan sebagai penggoda. Rumusan masalahnya dalam Skripsi ini adalah Bagaimanakah Makna perempuan dalam tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi di LATIVI dan tujuan penelitianya untuk mengetahui Makna Perempuan dalam tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi di LATIVI melalui analisis Semiotik. Berdasarkan masalah atau kajian yang diteliti, maka penelitian ini tergolong penelitian deskriptif interpretatif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif inerpretatif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis.
Penelitian ini menggunakan analisis Roland Barthes karena menurut Barthes film merupakan sistem yang berfungsi sebagian pada tingkatan mitos. Tanda berfungsi melalui kode dan beroperasi pada dua tingkatan yaitu denotatif dan konotatif. Denotatif merefleksikan suatu penandaan makna yang spesifik dan konotatif memberikan makna dan konteks kebudayaan tertentu Apalagi isu tentang eksploitasi tubuh perempuan bukan lagi barang baru tetapi dari jaman klasik sudah ada. Kebudayaan yang merekonstruksi perempuan untuk tunduk pada citranya yaitu citra perempuan bisu yang sebagai pembawa makna bukan pembuat makna. Karena itu teori yang dianggap tepat adalah teori gender dan feminisme dengan analisis semiologi Barthes. Ruang lingkup penelitian ini adalah tayangan Komedi Tengah Malam Seksi yang ditayangkan pada hari Rabu 15 Maret 2006 pada pukul 23.30 dengan judul ?Maniak Casting? dengan durasi 18 menit.
Tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi dengan judul ?maniak casting? berawal dari tiga orang perempuan yang ikut casting yaitu Amy, Susi dan Susan. Amy bertemu Wawan yang mengaku jadi produser dan berhak memilih orang yang lolos casting. Padahal Wawan hanyalah seorang kameramen.Setelah berhasil mengelabui Amy Wawan meminta persyaratan agar Amy mau untuk melakukan apa saja agar dia mendapatkan peran. Begitu juga dengan Susi dan Susan untuk mendapatkan peran diapun bertingkah seseksi mungkin dengan tampang binalnya. Maka yang mendapatkan peran adalah Susi dan Susan karena mereka punya kriteria perempuan seksi yang mempunyai payudara yang besar. Tetapi Wawan mengatur jadwal pada malam hari untuk mengerjai ketiga kontestan casting.Akhirnya pada giliran Amy dikerjai, kedok Wawan sebagai produser palsu telah terungkap oleh Bossnya.
Untuk itu peneliti mencari signifier yaitu berupa perempuan dalam tayangan komedi tengah malam dan signifiednya adalah interpretasi dari signifier yang merupakan tataran denotative kemudian peneliti mencari makna konotasi yaitu makna yang lebih identik dengan operasi idiologi, yang disebutnya mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Dari gaya busana, signifiernya adalah Amy : baju ketat (semi tanktop), belahan dada terbuka, rok mini, sandal hak tinggi. Signifiednya: perempuan seksi, tidak ketinggalan mode, nakal, penggoda. Makna konotasi pertama : kebudayaan mengontrol tubuh perempuan karena dalam tataran kebudayaan tubuh perempuan adalah seksualitas. Perempuan adalah imajinasi seksual laki-laki. Kedua mengebiri perempuan dengan penggambaran fetistik (melebih-lebihkan) misalnya sepatu hak tinggi, rambut panjang atau anting-anting atau juga perempuan mengubah dirinya sebagai objek fetis dengan menyesuaikan mode, memfragmentasikan kecantikan perempuan ke dalam suatu objek tatapan yang menentramkan hati. Menggunakan istilah ?scopophilia fetistik? untuk menggambarkan suatu proses, dimana kecantikan fisik dari objek dibangun dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang memuaskan dirinya sendiri. Dan kaum kapitalis mengerti bahwa perempuan sangat potensial untuk dieksploitasi karena alasan fetisme baik itu berupa tubuh perempuan dan kebutuhan perempuan. Pada akhirnya perempuan mengalami suatu proses komodifikasi media.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam tayangan ini juga dijadikan sebagai objek tatapan laki-laki atau male gaze yang bisa menindas dan mendominasi perempuan Tuntutan perempuan memang sangat kompleks fetisme dijadikan alasan kaum kapitalis membaca kesempatan berbisnis. Jadi dunia kapitalis dan tuntutan perempuan yng didasari oleh paham fetisme saling membutuhkan sehingga eksploitasi perempuan tetap berdiri dengan kokoh Diharapkan penelitian ini menjadi inspirasi dan bermanfaat khususnya perempuan untuk menjadi empowering women yang sadar akan kemampuannya yang selama ini di kebiri oleh suatu tatanan masyarakat dimana posisi sebagai perempuan itu adalah dibawah laki-laki, lemah tak berdaya, bodoh, kemampuan intelegensi yang dibawah laki-laki, kekuatannya juga dibawah laki-laki.


Deskripsi Alternatif :

Maraknya tayangan dalam televisi menempatkan perempuan sebagai sosok yang teraniaya, sementara keteraniayaan itu bukan sebagai titik tolak melawan kesewenangan-wenangan penindasan kaum lelaki. Atau cerita-cerita yang menempatkan perempuan sebagai penggoda. Rumusan masalahnya dalam Skripsi ini adalah Bagaimanakah Makna perempuan dalam tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi di LATIVI dan tujuan penelitianya untuk mengetahui Makna Perempuan dalam tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi di LATIVI melalui analisis Semiotik. Berdasarkan masalah atau kajian yang diteliti, maka penelitian ini tergolong penelitian deskriptif interpretatif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif inerpretatif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis.
Penelitian ini menggunakan analisis Roland Barthes karena menurut Barthes film merupakan sistem yang berfungsi sebagian pada tingkatan mitos. Tanda berfungsi melalui kode dan beroperasi pada dua tingkatan yaitu denotatif dan konotatif. Denotatif merefleksikan suatu penandaan makna yang spesifik dan konotatif memberikan makna dan konteks kebudayaan tertentu Apalagi isu tentang eksploitasi tubuh perempuan bukan lagi barang baru tetapi dari jaman klasik sudah ada. Kebudayaan yang merekonstruksi perempuan untuk tunduk pada citranya yaitu citra perempuan bisu yang sebagai pembawa makna bukan pembuat makna. Karena itu teori yang dianggap tepat adalah teori gender dan feminisme dengan analisis semiologi Barthes. Ruang lingkup penelitian ini adalah tayangan Komedi Tengah Malam Seksi yang ditayangkan pada hari Rabu 15 Maret 2006 pada pukul 23.30 dengan judul ?Maniak Casting? dengan durasi 18 menit.
Tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi dengan judul ?maniak casting? berawal dari tiga orang perempuan yang ikut casting yaitu Amy, Susi dan Susan. Amy bertemu Wawan yang mengaku jadi produser dan berhak memilih orang yang lolos casting. Padahal Wawan hanyalah seorang kameramen.Setelah berhasil mengelabui Amy Wawan meminta persyaratan agar Amy mau untuk melakukan apa saja agar dia mendapatkan peran. Begitu juga dengan Susi dan Susan untuk mendapatkan peran diapun bertingkah seseksi mungkin dengan tampang binalnya. Maka yang mendapatkan peran adalah Susi dan Susan karena mereka punya kriteria perempuan seksi yang mempunyai payudara yang besar. Tetapi Wawan mengatur jadwal pada malam hari untuk mengerjai ketiga kontestan casting.Akhirnya pada giliran Amy dikerjai, kedok Wawan sebagai produser palsu telah terungkap oleh Bossnya.
Untuk itu peneliti mencari signifier yaitu berupa perempuan dalam tayangan komedi tengah malam dan signifiednya adalah interpretasi dari signifier yang merupakan tataran denotative kemudian peneliti mencari makna konotasi yaitu makna yang lebih identik dengan operasi idiologi, yang disebutnya mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Dari gaya busana, signifiernya adalah Amy : baju ketat (semi tanktop), belahan dada terbuka, rok mini, sandal hak tinggi. Signifiednya: perempuan seksi, tidak ketinggalan mode, nakal, penggoda. Makna konotasi pertama : kebudayaan mengontrol tubuh perempuan karena dalam tataran kebudayaan tubuh perempuan adalah seksualitas. Perempuan adalah imajinasi seksual laki-laki. Kedua mengebiri perempuan dengan penggambaran fetistik (melebih-lebihkan) misalnya sepatu hak tinggi, rambut panjang atau anting-anting atau juga perempuan mengubah dirinya sebagai objek fetis dengan menyesuaikan mode, memfragmentasikan kecantikan perempuan ke dalam suatu objek tatapan yang menentramkan hati. Menggunakan istilah ?scopophilia fetistik? untuk menggambarkan suatu proses, dimana kecantikan fisik dari objek dibangun dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang memuaskan dirinya sendiri. Dan kaum kapitalis mengerti bahwa perempuan sangat potensial untuk dieksploitasi karena alasan fetisme baik itu berupa tubuh perempuan dan kebutuhan perempuan. Pada akhirnya perempuan mengalami suatu proses komodifikasi media.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam tayangan ini juga dijadikan sebagai objek tatapan laki-laki atau male gaze yang bisa menindas dan mendominasi perempuan Tuntutan perempuan memang sangat kompleks fetisme dijadikan alasan kaum kapitalis membaca kesempatan berbisnis. Jadi dunia kapitalis dan tuntutan perempuan yng didasari oleh paham fetisme saling membutuhkan sehingga eksploitasi perempuan tetap berdiri dengan kokoh Diharapkan penelitian ini menjadi inspirasi dan bermanfaat khususnya perempuan untuk menjadi empowering women yang sadar akan kemampuannya yang selama ini di kebiri oleh suatu tatanan masyarakat dimana posisi sebagai perempuan itu adalah dibawah laki-laki, lemah tak berdaya, bodoh, kemampuan intelegensi yang dibawah laki-laki, kekuatannya juga dibawah laki-laki.

Antara Televisi, Anak, dan Keluarga

Abstrak
Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak diduga sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih dominan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal yang paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah menciptakan keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma luhur dan nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai tanggung jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui pemilihan acara yang tepat.
Pendahuluan
Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas. Kejadian ini sungguh menggemparkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.
Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sekitar satu dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab kasus pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun berjudul Beavis dan Butthead dituding sebagai penyebab memban-jirnya kasus pembakaran rumah di mana pelakunya adalah anak-anak muda.
Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film cowboy di layar televisi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak “dor dor.. dor… sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di pegangnya. Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilontarkan mereka menirukan idolanya di TV. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan melalui layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon, Satria Baja Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh melekat dalam kehidupan mereka. Bahkan kondisi seperti ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka membuat busana anak yang mirip dengan para tokoh tersebut, dan hasilnya sangat digemari anak-anak.
Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang sering muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza, hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil yang mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkhawatirkan lagi mereka lebih suka nongkrong di depan TV, diban-dingkan belajar, membaca, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.
Memang televisi semakin dekat dengan anak. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan dari berbagai stasiun televisi, membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar televisi. Pihak stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-acara khusus untuk dikonsumsi anak-anak. Simak saja acara-acara Sabtu dan Minggu pagi hampir semua stasiun TV menyajikan program anak-anak. Apalagi kini komunikasi antara orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi kesibukan para orang tua pada pekerjaaanya serta makin hilangnya budaya dongeng orang tua saat pengantar tidur. Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka yang setiap saat mereka bisa menyaksikannya. Tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana potensi media televisi dan dampaknya terhadap perilaku anak serta konstribusi faktor keluarga dalam menagkal gencarnya siaran televisi tersebut.
Potensi Media Televisi
Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live) yang bisa bersifat politis, bisa, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Ekspresi korban kerusuhan di Ambon misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran televisi, tidak lewat koran ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya tepuk tangan penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye di bunderan Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.
Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Melalui stasiun televisi, kerusuhan di Ambon dapat diterima di Banda Aceh dan di Jayapura dalam waktu bersamaan. Begitu pula acara pertandingan AC Milan melawan Juventus di Italia dapat langsung dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia. Sungguh luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana bisa diterima langsung di rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton dapat melihat sambul duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksikannya Memang televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari.
Dari segi penontonya, sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui tabung ajaib itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan, televisi dianggap sebagai media yang ringan, murah, santai, dan segala sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan.
Televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Televisi juga dapat menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang jauh, objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam kelas. Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
Memang kekuatan televisi menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991), gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa.
Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya, seolah-olah mereka bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa, berlari-lari di atas air, atau bisa menghilang. Adegan memenggal kepala orang, bertarung di angkasa dan bentuk adegan lainnya yang tidak lazim dilakukan dalam kehidupan, merupakan hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.
Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa meng-akrabkan objek yang jauh dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak kegirangan ketiga Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus. Memang televisi bisa menjadikan komunikasi inter-personal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana. Tangan keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggaris-bawahi berita, memberikan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempunyai posisi stategis dalam menyam-paikan pesan pada khalayak.
Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.
Acara Anak dan Film Kartun
Sebagai media massa, tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi ternyata persentase kecil inipun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak.
Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Doraemon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.
Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yang sama.
Sri Andayani (1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%). Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%).
Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film import membawa muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman menurut hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman dan Superman.
Perbedaan budaya, ideologi, dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan mewarnai terhadap subtasi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka, ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan keberanian ‘apa adanya’ tanpa tersembunyi di balik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini apabila dipandang sama, dihkawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan mudah menyerah. Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan disekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.
Dampak Tayangan Televisi pada Anak
Gencarnya tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih relatif sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual di layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak.
Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan. Bertolak dari pandangan ini, pembiasan dan pengukuhan lingkungan anak dapat dibentuk melalui tayangan televisi yang sesuai dengan nilai, norma, dan kerpribadian bangsa. Karena saat ini tayangan televisi setiap saat bisa ditonton anak-anak.
Masalahnya adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up; The Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan langsung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun.
Faktor Keluarga
Sebagian besar anak hidup di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Oos M. Anwas, 1998). Beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Barangkali munculnya berbagai masalah remaja, seperti perkelahian, tawuran narkotika, dan premanisme lainnya bisa saja disebabkan kurang harmonisnya lingkungan keluarga saat ini yang cenderung mengkhawatirkan.
Yang lebih menarik adalah hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Dedi Supriadi, 1997). Temuannya menun-jukan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertimbangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
Mungkin kita akan lebih yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Bagi anak yang berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.
Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para orang tua mendampingi putra-putrinya nonton TV. Kini si keci dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Semen-tara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis. Komunikasi orang tua dan anak dituntut lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak dalam menyaring gencarnya tayangan televisi.
Catatan Akhir
Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu persaingan di antara stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
Gencarnya tayangan televisi yang berbau kekerasan, konsumtif, sadisme, erotik, bahkan sensual menimbulkan kekhawatiran para orang tua. Kondisi seperti ini sangatlah wajar, karena kini anak-anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap saat. Tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak/remaja langsung menuding televisi sebagai biang keroknya. Tidak sedikit para orang tua mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi yang dirasakan kurang pas. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mungkin kita (para orang tua) perlu merenungi temuan Coles, bahwa jauh lebih penting menciptakan keluarga yang harmonis dibandingkan menyalahkan tayangan televisi, karena faktor keharmonisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk menciptakan keharmonisan keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar mencari untung (kue iklan) terhadap acara yang ditayangkannya. Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggung-jawab untuk menjaga dan sekaligus mening-katkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.
(Drs. Oos M Anwas, www.pustekkom.go.id)

Komunikasi Politik Dalam Pelaksanaan Pilkada

Komunikasi Politik Dalam Pelaksanaan Pilkada
Artikel Politik  Senin, 08/09/2008 - 10:59 WIB  Oleh : Tamrin Kiram*  1696 klik


Berbeda dari pelaksanaan Pemilu legislatif maka pelaksanaan Pilkada prefeerensi politik rakyat sangat cair, pilihan-pilihan politik masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada mengalami fluktuasi ke arah yang berbeda dari pilihan politik Pemilu legislatif. Fenomena ini dapat dilihat dari kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Jawa Barat. Figur politik yang diusung oleh masyarakat lebih menentukan kemenangan Pilkada dari ketiga daerah ini dibandingkan dengan figur politik yang diusung oleh partai politik.

Dalam pelaksanaan Pilkada berlaku diktum tidak mesti figur politik yang diusung oleh partai besar menang, serta tidak mesti figur politik yang diusung oleh partai politik kecil kalah dalam pelaksanaan Pilkada. Kemampuan partai politik dalam menjaring calon-calon yang menjadi figur politik masyarakat menentukan kemenangan dalam pelaksanaan Pilkada oleh partai politik, kemampuan tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh strategi Partai Golkar Kodya Padang yang disampaikan oleh Z. Panji Alam, wakil Ketua DPRD Kodya Padang diskusi bulanan laboratorium Ilmu Politik Fisip Unand adalah dengan menentapkan figur politik terpopuler versi lembaga riset.

Kemudian figur politik terpopuler versi lembaga riset ini ditindaklanjuti melalui riset internal yang dilakukan oleh Partai Golkar sendiri terhadap figur politik terpopuler dalam masyarakat, hasil komparasi dari riset internal Partai Golkat dengan hasil riset lembaga independen diluar Partai Golkar ini menjadi rekomendasi bagi Partai Golkar untuk memutuskan calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada. Namun kelemahan Partai Golkar dalam mengusung calon-calon yang diusung dalam pelaksanaan Pilkada tersebut adalah logika berfikir bahwa keberhasilan memimpin Partai Politik di suatu daerah merupakan indikasi terhadap poularitas ketokohan diri dalam masyarakat.

Calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada Gubernur Jawa Tengah dari Ketua Partai Golkar Jawa Tengah merupakan bentuk kesalahan logika berfikir diatas, meskipun latar belakang pekerjaan sebagai anggota DPR-RI dan bidang jurnalis sebagai wartawan mendukung pengetahunan dan pengalaman dalam berhadapan dengan masyarakat, tetapi masyarakat Jawa Tengah lebih melihat pasangan Bibit Waluyo dan Rustianingsih yang diusung oleh PDI-P sebagai calon yang berasal dari masyarakat daripada calon Golkar.

Menurut Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar koordinasi di antara elite partai politik antara kader yang diusung oleh daerah dengan pusat menjadi kelemahan dalam partai Golkar, meskipun tidak ada intervensi antara pengurus pusat dengan pengurus daerah dalam partai Golkar, tetapi koordinasi antara pengurus daerah dengan pengurus pusat dalam partai politik menentukan kemenangan calon yang diusung oleh partai politik dalam pelaksanaan Pilkada.

Koordinasi ini dapat dilihat dari pernyataan Megawati Ketua Umum PDI-P bahwa Jawa Tengah merupakan barometer kekuatan politik PDI-P, kekalahan PDI-P dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Tengah menentukan kemenangan partai politik tersebut dalam pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pilpres mendatang. Koordinasi internal antara pengurus daerah dengan pengurus pusat dalam PDI-P merupakan bentuk kinerja partai politik yang mempengaharui kemenangan PDI-P dari Partai Golkar. Unsur demokrasi dalam bentuk kebebasan pengurus daerah dalam menentukan kebijakan yang berbeda dari pengurus pusat merupakan dilema yang dihadapi oleh partai Golkar dalam mengatur strategi kemenangan calon yang diusung oleh partai politik dalam pelaksanaan Pilkada.

Kebijakan yang ditentukan oleh pengurus daerah secara sepihak berdasarkan ketokohan partai politik merupakan indikasi ketokohan dalam masyarakat merupakan logika berfikir yang menyesatkan dalam pelaksanaan Pilkada, calon-calon yang diusung oleh partai besar dari pengurus partai itu sendiri dalam pelaksanaan Pilkada memberi peluang terhadap partai-partai kecil untuk memberi ruang kepada figur politik yang lebih dikenal masyarakat daripada figur politik yang lebih dikenal oleh partai politik dalam memenangkan sebuah pelaksanaan Pilkada.

Faktor sistem yang bekerja dalam mekanisme strategi kemennagan dalam pelaksanaan Pilkada lebih menentukan daripada faktor calon yang diunggulkan oleh partai politik. PDI-P dan PKS merupakan partai politik yang memiliki mekanisme politik yang lebih mengakar ke dalam masyarakat, penetapan calon yang diusung dalam pelaksanaan Pilkada diperkuat melalui meknisme politik yang bekerja pada akar rumput.

Strategi PKS dalam memenangkan pasangan Ahmad Herawan dan Dede Yusuf dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Barat adalah dengan mendatangi rumah-rumah penduduk, kampanye-kampanye politik yang dilakukan oleh Bibit Waluyo yang diusung oleh PDI-P melalui pertemuan rakyat kecil di pasar-pasar serta komunikasi politik yang dijalani intensif oleh wakilnya calon Rustiningsih melalui acara “Selamat Pagi” Radio Pemda Kebumen yang dimilikinya ternyata lebih efektif daripada iklan yang ditayangkan melalui sarana audio visual pada media nasional.

Unsur komunikasi politik dalam bentuk penguasaan sarana komunikasi politik masyarakat merupakan strategi politik yang lebih menentukan kemenangan partai politik kecil daripada partai politik besar yang lebih mengusung unsur ketokohan partai politik daripada dalam bentuk faktor segmen apa dan media apa yang digunakan dalam kampanye politik.

*Penulis adalah Koordinator Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, FISIP, Unand

Magnitude Komunikasi Politik Obama

Magnitude Komunikasi Politik Obama
oleh: Ali Masykur Musa (Anggota DPR RI)


Rupanya, hampir semua ahli komunikasi dan para politisi di penjuru dunia kagum terhadap komunikasi politik presiden ke-44 terpilih Amerika Barack Obama. Semenjak forum debat yang dihelat di internal kedua kubu, demokrat dan republik, semua mata tertuju kepada negara adikuasa itu. Puncaknya terjadi pada 16 Oktober lalu, ketika berlangsung debat capres ketiga antara Obama dan McCain.

Dalam debat itu, muncul beragam diskursus mengenai moralitas, karakter, kepribadian, komitmen, nilai-nilai yang diperjuangkan, dan kesungguhan masing-masing capres untuk membangun kontrak politik guna menghasilkan AS yang lebih baik secara nyata. Program-program yang mereka tawarkan kepada rakyat AS begitu riil, seperti formula reduksi pajak bagi kelas menengah. Kedua capres berusaha mati-matian untuk memengaruhi sikap pemilih AS yang rasional.

Dibandingkan McCain, Obama mendapatkan simpati lebih tinggi. Banyak kalangan mengakui bahwa Obama pantas disebut sebagai sang komunikator kelas dunia. Melalui aura kecerdasan dan keterampilannya merajut kalimat, penampilan Obama sungguh menawarkan sederet kisah pembelajaran yang amat kaya tentang apa itu komunikasi massa, yang niscaya dimiliki setiap pemimpin. Drama realis dari panggung politik AS itu patut menjadi refleksi bagi proses rekrutmen pemimpin di negeri ini jelang perhelatan Pilpres 2009.

Seni Komunikasi Obama

Debat memang bukan satu-satunya instrumen mencari seorang pemimpin bangsa berkualitas dan menjamin keberlangsungan tata kelola negara yang baik. Hanya, dengan debat akan diketahui kualitas dan kapabilitas seorang capres dalam memberikan solusi menanggulangi berbagai problem bangsa.

Lebih jauh, keterujian seorang kandidat capres akan tampak dari manajemen emosi, kecakapan menata sikap, mental, dan tutur kata (retorika). Dapat dibayangkan sengitnya perdebatan yang berpotensi melahirkan gesekan emosional antarcapres. Karena itu, perlu dihindari potensi saling hujat antarpribadi (black campaign).

Di situlah kepiawaian komunikasi politik Obama. Dia menunjukkan penguasaan lima macam pola komunikasi massa (5 C).

Pertama, kelengkapan (complete). Dalam debat menegangkan, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasan secara lengkap dan koheren; tidak parsial atau sepotong-potong. Eksplorasi gagasannya dalam satu ide terajut secara lengkap.

Kedua, keringkasan dan kepadatan (concise). Sadar efisiensi waktu amat penting, Obama selalu bisa menyampaikan esensi gagasannya dengan ringkas, namun padat. Audiens senang karena dengan demikian mereka mudah mencerna dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele.

Ketiga, memahami kenginan rakyat (consideration). Dalam debat itu, Obama tampil dengan sudah mengetahui apa yang ada di benak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka dambakan.

Keempat, memukau (clarity). Obama mampu memilin kata dan merajut kalimat dengan penuh presisi. Dia mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Pilihan diksi bahasa tampak alamiah, ilmiah, dan berkesan penuh tanggung jawab.

Kelima, santun dan persuasif dalam menumbuhkan respek (courtesy). Elemen itu juga diperagakan dengan nyaris sempurna oleh Obama. Dia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan.

Komunikasi Nonverbal

Melihat kondisi psikologi massa di Indonesia, budaya debat terbuka memang belum dapat diandaikan akan terjadi seperti di Amerika. Sebab, menurut antropolog Edward T. Hall (1979), bangsa Indonesia masuk kelompok high context culture dalam berkomunikasi. Dalam budaya ini, konteks atau pesan nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya konteks tinggi kurang menghargai ucapan atau bahasa verbal. Tokoh yang jauh-jauh hari mengungkapkan kemauannya menjadi presiden akan dianggap ‘’aneh’’.

Upaya meyakinkan publik dengan mengungkapkan program, atau visi, dan misi pun malah bisa kontraproduktif. Makanya, tidak heran bila nanti digelar debat calon presiden di media massa, kandidat yang piawai berdebat malah belum tentu memperoleh simpati publik. Berbeda dengan masyarakat Amerika dan masyarakat Barat pada umumnya yang memiliki low context culture. Walau pesan nonverbal juga penting, bahasa verbal amat dihargai untuk mengungkap ekspresi dan keinginan mereka.

Kesantunan Politik

Terlepas dari problem komunikasi di atas, debat dapat menjadi semacam ajang pembuktian kualitas intelektual dan kapabilitas calon menggulirkan rencana programnya ke depan. Masyarakat Indonesia memang memiliki high context culture, tetapi juga mempunyai kecenderungan kagum kepada kemampuan tokoh. Kombinasi antara aspek ketokohan dan kemampuan berkomunikasi menjadi sebuah alat signifikan meraih simpati rakyat.

Kemudahan akses informasi dan pengalaman menjalani fakta politik selama ini menjadikan komunikasi rakyat bergeser. Dengan meningkatnya literasi politik, rakyat kini membutuhkan figur yang mampu menguraikan persoalan bangsa ini secara baik dengan tawaran konsep yang jelas.

Belajar dari Obama, selain kemampuan berkomunikasi, dia mempunyai khas karakter santun politik. Setidaknya itu tampak dari penilaian publik Amerika tentang Obama. Bagi sebagian besar rakyat Amerika, Obama mempunyai kepribadian yang hangat, santun, impresif, dan selalu berpenampilan kalem. Dia nyaris tak pernah memperlihatkan sikap agresif, eksplosif, dan menunjukkan mimik muka yang terkesan ‘’melecehkan’’ orang lain. Dia selalu menawarkan aura kehangatan, rasa hormat kepada mitra bicara, serta mampu menampilkan sosok yang tenang dan persuasif. Karakter semacam itu mampu menumbuhkan simpati, tidak terkecuali lawan debatnya, bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.

Kini capres dan cawapres mulai bermunculan menjelang Pemilu 2009. Masyarakat seolah terjangkit penyakit ‘’gila politik’’ pada saat mereka menggaggap dirinya pantas menjadi pemimpin negara. Banyak politisi, tapi sedikit yang memenuhi kriteria pemimpin. Kita merindukan pemimpin santun ala Obama. Kita tunggu! (*)

Diposkan oleh Redaksi di 13:15